Blogger Template by Blogcrowds

Krisis Global Hantam Warga AS, Semua Maunya Tunai

Jumat, 10 April 2009

KABAR gembira buat orang-orang kaya Indonesia yang gemar berbelanja di luar negeri, segeralah ke Amerika Serikat karena supermarket dan butik-butik pakaian di negeri itu sedang membanting harga guna menyiasati turunnya daya beli konsumen akibat tekanan krisis keuangan.

Laksana krisis moneter yang meluluhlantakan Asia Tenggara pada 1997, krisis keuangan global sudah sampai kepada kehidupan sehari-hari keluarga-keluarga di Amerika Serikat, salah satunya bisnis pakaian dan kebutuhan hidup warga di Negara Paman Sam itu.

Bagaimana tidak, setiap hari krisis keuangan makin buruk setiap kali itu pula tekanan semakin besar terhadap industri ritel Amerika Serikat.

“Waktu rasanya berjalan sangat cepat,” tulis wartawati Washington Post, Ylan Mui dan Kendra Marr dalam The Post edisi 9 Oktober.

Kemarin saja (Rabu waktu AS), tatkala jam menjelang masa liburan akhir tahun makin kencang berdentang, para pengelola pasar swalayan dan butik-butik pakaian dilaporkan tertekan volume penjualannya.

Target, salah satu operator swalayan AS mengaku, para pembelinya memiliki kartu kredit yang rata-rata “over” kredit.

Di sisi lain, lalu lintas pengiriman barang turun drastis akibat kekhawatiran tidak laku sehingga tak bisa dilunasi para pengelola toko.

Bob Carbonell, kepala bagian kredit pada Bernard Sands, sebuah lembaga pemeringkat retail dan jasa pembiayaan di AS menilai, semua orang di AS tak pernah menyangka skala dampak krisis ekonomi sekarang demikian besar sehingga tak ada yang berani memprediksi kapan petaka ini berakhir.

Bob melihat, orang-orang AS yang biasanya konsumtif tiba-tiba pelit berbelanja dan lebih suka menyimpan hartanya dalam rumah.

“Jika rumahtangga-rumahtangga Amerika menyimpan uangnya di bawah bantal, maka bangsa ini sungguh dalam kesulitan besar,” kata Bob.

Para pengelola pasar swalayan dan butik pakaian di AS tengah berjuang keras untuk meraih untung di masa liburan yang biasanya mengambil 20 persen dari seluruh volume penjualan tahunan toko-toko pakaian di AS.

Bayangkan saja, pada tiga bulan terakhir, belanja konsumen diperkirakan turun hingga ke posisi terendah sejak resesi 1991.

Berita-berita menakutkan sepanjang September mulai dari bangkrutnya Lehman Brothers dan jatuh bebasnya pasar keuangan akibat paket stimulus 700 miliar dolar AS yang gagal menstimulasi pasar, telah menghajar para pengusaha waralaba AS sekaligus menggerus kepercayaan konsumen.

Pada hari ketika DPR menolak proposal “bailout” Presiden Bush, kunjungan ke pusat-pusat perbelanjaan di AS langsung turun 12 persen, demikian riset ShopperTrak.

Keluarga-keluarga AS dipaksa untuk mati-matian berhemat, seperti dilakukan pasangan Scott dan Elaine Bourdeau yang merasakan perubahan kerasnya kehidupan mereka setelah krisis keuangan menerjang negara mereka.

Pasangan yang tinggal di Herndon ini semula berencana berlibur di Italia untuk memeringati ulang tahun pernikahannya yang kesepuluh, namun membatalkannya dengan hanya pergi ke Teluk San Francisco.

Pasangan ini juga membatalkan rencana merenovasi kamar mandi rumah mereka dengan fokus pada hal-hal paling penting seperti kebutuhan pakaian kedua anak perempuannya.

Mereka bahkan harus mengurangi belanja untuk liburan Natal mendatang. “Satu bingkisan (Natal) untuk setiap anak.”

Situasi serupa terjadi di seluruh penjuru negeri dan kalau pun ada yang diuntungkan, maka pastilah itu para pengusaha retail berharga obral kendati keuntungannya tetap di bawah prediksi Wall Street.

Wal-Mart dilaporkan mencatat volume penjualan hampir sama dengan tahun lalu, Sam’s Club tumbuh 2,8 persen pada September dibanding periode sama tahun lalu, sedangkan Costco berkembang hingga 9 persen.

Sebaliknya, volume penjualan pasar-pasar swalayan dari Kohl’s sampai Nordstrom juga tertekan tajam setidaknya selama setahun terakhir ini, sedangkan waralaba produk kesehatan mencatat volume penjualan yang sama dengan tahun lalu. Dillard’s, JCPenney dan Saks bahkan tenggelam hingga dua digit.

Gambaran kelam ini telah membuat kecut dunia waralaba dalam menghadapi libur akhir tahun ini.

Penjualan mereka memang ditargetkan turun 3 persen, sebagian karena banyaknya tagihan kartu kredit yang tak terlunasi, namun capaian laba kuartalan mereka menjadi jauh lebih rendah dibanding prediksi sebelumnya sehingga banyak diantara mereka menurunkan target kinerjanya.

“Kekhawatirannya sudah akut, sedangkan ketidakmenentuannya lebih tinggi lagi,” kata Gene Tyndall, wakil presiden eksekutif pada Tompkins Associates, sebuah perusahaan konsultan pensuplai barang ritel.

Sementara itu, seorang warga bernama Domonique Blaine (23), terpaksa berbelanja lebih konservatif dengan mencari produk obral sembari tetap memperhatikan merek.

Sebenarnya dia mengincar jas berbahan wol seharga 250 dolar AS, namun keinginan itu terpaksa dipendamnya.

“Setahun lalu, saya tinggal ambil saja jas itu,” kata lajang yang kini punya motto, “Berhematlah dan korbankan keinginanmu.” Di lingkup lebih besar, para pengusaha retail dipaksa berpikir ekstra keras.

Mereka harus berhati-hati memesan barang karena kalau terlanjur memesan dalam jumlah banyak maka mereka harus bisa memastikan pembelinya ada, padahal daya beli warga AS kini sedang jatuh. Akibatnya, kebanyakan dari mereka menunda pembelian stok baru.

Matt Rubel, kepala eksekutif Payless ShoeSource menyatakan, perusahaannya telah memutuskan untuk menurunkan stok barangnya di bawah volume tahun lalu.

“Kami mencoba berhati-hati dalam mendatangkan barang dan memastikan tidak kelebihan membeli barang (overbuy) karena kami tak ingin barang terbuang percuma,” kata Matt.

Seirama dengan Matt, kepala eksekutif JCPenney Myron Ullman III menyatakan, perusahaannya mengontrol ketat stok barangnya sampai bulan-bulan terakhir tahun ini.

Langkah lebih drastis dilakukan Costco yang memutuskan memangkas kapasitas gudangnya hingga rata-rata 150 ribu dolar AS dalam kuartal ini, sedangkan Macy’s mengurangi stok barangnya hingga 3,7 persen dibanding priode sama tahun lalu.

Sejumlah pengusaha ritel malah bertindak lebih jauh dengan berancang-ancang untuk memberi diskon lebih cepat dari masa yang seharusnya.

“Semua orang mulai berbicara untuk memberi diskon lebih awal,” Doug Hart, seorang dealer untuk BDO Seidman.

Perusahaan-perusahaan ritel AS benar-benar ditimpa banyak kesulitan, tidak hanya oleh sulitnya perusahaan membeli stok barang karena rusaknya pasar kredit namun juga karena kesulitan mendapatkan pembeli.

Para penyedia barang tidak mau lagi menerima pembayaran lewat kredit, semuanya menuntut tunai.

Sebuah riset terbaru untuk BDO Seidman menunjukkan, 41 persen akses perusahaan ritel ke kredit perbankan diperketat, bahkan raksasa ritel terbesar AS, Wal-Mart, terpaksa membeli barang secara tunai ketimbang kredit karena pasar surat berharga di AS memang sedang bergejolak.

Perusahaan pembiayaan seperti Bernard Sands yang biasa menjembatani pabrik dan perusahaan ritel telah menolak menjamin kredit ritel karena takut perusahaan ritel tidak mampu membayar.

Bahkan kalau pun barang-barang ritel itu bisa dibeli lewat sistem kredit, perusahaan ritel masih dihadapkan pada kesulitan lain, yaitu rendahnya daya beli konsumen.

“Kepercayaan konsumen lagi kritis. Kebebasan untuk berbelanjalah yang sekarang dalam bahaya,” kata Tyndall.

Padahal, sekedar catatan, arus konsumsilah yang selama ini menggerakan perekonomian AS.

A. Jafar M. Sidik(sumber kompas.com)

0 comments:

Posting Komentar